Yogyakarta; Melebihi Perjalanan Intelektual
Terbitsulbar.com – Opini – 9 Desember 2024 kami bersama rombongan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Mamuju dan kawan-kawan dari berbagai komunitas literasi tiba di Bandara Udara Internasional Yogyakarta. Rombongan pegiat literasi yang datang dari jauh, membawa semangat dan rasa ingin tahu. Perjalanan kami kali ini adalah untuk memotret dan menyelami bagaimana Yogyakarta, kota dengan tingkat literasi tertinggi di Indonesia, mampu menjaga budaya baca di tengah arus globalisasi.
Destinasi pertama kami adalah Dinas Perpustakaan Yogyakarta. Di sana, kami melihat bagaimana perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku, tetapi juga ruang interaksi dan pembelajaran bagi masyarakat. Saya cukup tertampar ketika Sekertaris Dinas menyampaikan bahwa hampir 100% anggota DPR di Provinsi Yogjakarta turun dimasyarakat, mengargumentasikan bagaimana literasi membuka ruang untuk meningkatkan taraf hidup. Di resensi Institute kami menyebutnya sebagai Education and welfare. Kami mendapat banyak pelajaran disana, soal bagaimana strategi mereka memasyarakatkan literasi, dan itu yang sangat diperlukan di Sulawesi Barat.
Lalu, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah Rumah Baca Komunitas di pinggiran kota. Bangunannya sederhana, tapi menyimpan energi luar biasa. Kami disambut oleh Ibu Lina dan Cak Kevin, pengasuh rumah baca yang hangat dan penuh cerita. Dengan antusias, mereka menunjukkan koleksi buku-buku mereka, sebagian besar adalah sumbangan masyarakat dan beberapa komunitas literasi lain di Yogyakarta. Mungkin saya adalah orang yang paling beruntung malam itu bisa datang ke RBK (baca: singkatan dari rumah baca komunitas). Saya cukup aktif dibeberapa lembaga literasi di Mamuju, termasuk aktif berdiskusi dengan kawan-kawan OKP. Banyak diantara mereka yang datang dan pergi tanpa saya tahu bahwa mereka mengerti. Selalu ada pertanyaan besar dalam kepala saya, kiat apa sih yang harus dilakukan agar mereka mengerti dan bertahan? Ibu Lina seperti mampu menembus hijab antara dia dan pikiran saya, tanpa harus bertanya Ibu Lina memberikan jawaban bahwa keikhlasan berbagi ilmu adalah kuncinya. Hanya itu senjata saya untuk membesarkan dan membuat RBK bertahan sampai sekarang. Semoga ini adalah Ilham. Kami diajak berbagi pengalaman, saling bertukar ide untuk memperkuat gerakan literasi di daerah masing-masing.
Untuk saya pribadi tempat paling berkesan adalah Insist Pres. Sebuah percetakan buku yang telah berdiri selama belasan tahun. Di sinilah kami bertemu dengan Mbah Rum, seorang lelaki tua dengan senyum bijaksana. Ia adalah pengasuh percetakan sekaligus penjaga tradisi literasi. Melihat Mbah Rum dan Ibu Lina saya merasakan ada hal yang paradoksal di Yogyakarta, cuacanya dingin tapi orang-orangnya hangat.
Kami mendengarkan dengan saksama saat Mbah Rum berbagi cerita tentang bagaimana ia dan timnya terus berjuang menerbitkan buku-buku bermutu di tengah persaingan industri modern. Ada dua hal yang membuat saya kagum dengan Mbah Rum, yakni keikhlasan dan ketekunan. Buku yang ia tulis bukan hanya hasil referensi yang ia baca dari buku lain, tetapi hasil dari kehadirannya langsung di tengah masyarakat, berbaur dan menjadi masyarakat itu sendiri. Pada diri Mbah Rum saya menemukan relevansi defenisi cinta dari Ibn Qayyim; Cinta adalah menjadi yang dicintai.
Perjalanan ke Yogyakarta bukan hanya sekadar wisata intelektual saja, tapi juga perjalanan mahabbah. Cerita dari Ibu Lina dan Cak Kevin serta nasehat dari Mbah Rum membantu saya menemukan nilai sebuah perjuangan. Berikanlah dirimu sepenuhnya kepada apa yang kamu cintai.
Atas segala hal yang saya temukan di Yogyakarta saya ucapkan haturnuhun pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Mamuju. Hanya ini kejujuran yang dapat saya ceritakan ,semoga semangat ini terus-menerus menjadi obor harapan bagi gerakan literasi di Bumi Manakarra.
Penulis : Ahmad Fadli (Penggiat Literasi Resensi Institute)